Sabtu, 20 Juni 2009

AKU

me...my self...and I

setapak demi setapak hidup ini penuh dengan cerita dan kisah indah.....

Pentingnya arti "Mohon Petunjuk"


Oleh : Jalu Setio Bintoro, S.Sos

Dalam era orde baru, mohon petunjuk dijadikan salah satu alat oleh seorang bawahan untuk menjilat dan memenuhi keinginan penguasa dengan sekedar ABS (asal bapak senang). Namun sesungguhnya apabila kita telaah makna sesungguhnya dari mohon petunjuk dengan lebih mendalam, di sana terdapat beberapa nilai yang sangat kita junjung luhur, yaitu menghormati kepada yang lebih tua. Tentunya hal ini tidak berarti harus dijadikan penghormatan yang berlebihan, tetapi lebih kepada penanaman sopan santun dalam moralitas kita sehari-hari. Di samping itu, mohon petunjuk juga memberikan suatu transfer knowledge kepada bawahan, karena dengan begitu seorang bawahan menjadi mengerti apa yang harus dia lakukan berdasarkan pengalaman orang yang sebelumnya telah menjalaninya.

Dalam kehidupan kita, apapun jenis pekerjaan yang kita lakukan, tentunya tidak terlepas dari budaya mohon petunjuk yang memang memiliki banyak sekali variasi implementasinya, hanya mungkin terkadang kita tidak menyadarinya. Seseorang yang tidak mau atau segan untuk bertanya kepada yang lebih berpengalaman biasanya akan cenderung menjadi stagnan dan kurang dinamis. Dengan budaya mohon petunjuk, kita diharapkan bisa memperbaiki apa yang kurang di masa lalu dan melaksanakan suatu pekerjaan dengan lebih baik, efektif dan efisien.

Ketika kita dihadapkan pada suatu kondisi yang mengharuskan kita untuk berimprovisasi, ada baiknya kita mengetahui apa dan bagaimana situasi pekerjaan tersebut. Ada kalanya seseorang merasa malu bila harus meminta petunjuk dari seniornya karena mungkin ia akan terlihat bodoh, namun hal tersebut justru kesalahan besarnya, apalagi ketika pekerjaan kurang berhasil ia lakukan dan itu dikarenakan ia tidak mengerti situasi pekerjaan berdasarkan pengalaman sebelumnya.

Pada hakekatnya, sebagai orang yang lebih muda memang tidak ada salahnya kita menghormati yang lebih tua dengan budaya mohon petunjuk ini, sehingga komunikasi antara kita dapat terjaga, terlebih di dalam masyarakat jawa yang sangat menjunjung tinggi hierarkhi. Sebab, terkadang ada beberapa orang yang lebih tua dan berpengalaman enggan membagikan pengalamannya karena adanya kesalahan di masa lalu yang mereka lalukan atau juga mereka beranggapan bahwa yang muda harus melakukan perubahan tanpa campur tangan mereka.

Di sinilah kita sebagai orang muda harus pandai memilih dan memilah saat dan situasi tepat ketika kita hendak mengajukan “mohon petunjuk ini” kepada orang yang lebih tua untuk memperbaiki kesalahan kemarin, melakukannya hari ini supaya mendapatkan hasil yang lebih baik di masa depan.



Minggu, 07 Desember 2008

Kepemimpinan Sejati


Oleh : Jalu Setio Bintoro, S.Sos

Saat kita membaca surat kabar, menyaksikan siaran televisi dan mendengarkan radio, seringkali yang kita dengar adalah berita dan kisah tentang perilaku negatif pejabat-pejabat negeri ini. Kasus demi kasus menjerat mereka untuk berurusan dengan hukum. Korupsi, penggelapan, suap, pelecehan seksual, penyalahgunaan wewenang, serta seabreg kesalahan lainnya justru yang mereka tunjukkan kepada khalayak. Apakah yang terjadi? apakah mereka sudah bosan untuk berlaku baik dan bijaksana sebagaimana yang diharapkan rakyat dari para pemimpinnya. Budaya paternalisme yang dijunjung tinggi masyarakat, terutama orang jawa membutuhkan seorang pemimpin yang adi luhung wicaksono untuk memimpin dan mengayomi rakyat. Pemimpin sejati sebagaimana dilukiskan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah yang bisa melaksanakan tiga konsep yang selama ini seakan-akan hilang dari khasanah budaya kita, dihantam gelombang modernisme dan globalisasi. Tiga konsep itu adalah, Ing ngarso sung tulodho (di depan memberi contoh), Ing madyo mangun karso (di tengah ikut membangun), dan Tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan).

Dari apa yang kita lihat saat ini, pada kejahatan korupsi saja (white colar crime), sudah begitu merajalela. Apabila dulu kita sering belajar mengenai Trias Politica dari Montesquieu, maka saat ini negara kita sedang menjalankan trias korupsia. Yaa, di semua elemen pemerintahan, seperti berlomba melaksanakan korupsi. Di lembaga eksekutif, legislatif bahkan yudikatif pun tidak luput dari kronisnya penyakit yang satu ini.

Jika boleh jujur, hal ini secara signifikan dapat kita lihat sebagai memudarnya kharisma kepemimpinan seseorang dalam menggerakkan roda organisasi. Bagaimana kharisma tidak memudar apabila pemimpin sendiri tidak memberikan contoh yang baik, tidak kapabel dan terkadang tidak mengerti apa yang harus dilakukan.

Pemimpin adalah sosok yang pinunjul, yang artinya lebih. Ia memiliki kelebihan yang orang lain tidak memilikinya. Kelebihan disini dapat diartikan sebagai kelebihan jasmani ataupun rohani, intelektualitas ataupun leadership. Jadi apabila seseorang diangkat menjadi pemimpin tanpa memiliki kelebihan, maka ia akan cenderung melakukan penyalahgunaan kewenangannya sebagai pemimpin atau ia akan dengan mudah dikuasai orang lain yang memiliki kelebihan darinya.

Di sisi lain, seorang pemimpin juga dituntut bisa memberikan pelayanan kepada masyarakatnya sebagai pengayom yang diharapkan mampu menata kehidupan masyarakat dengan memperhatikan nilai dan norma yang dijunjung tinggi masyarakat. Dengan memiliki kekuasaan untuk mengatur, seorang pemimpin akan disegani oleh para bawahannya. Keseganan ini bukan diartikan sebagai perilaku asal bapak senang (ABS), namun merupakan suatu perilaku tunduk dan patuh atas apa yang telah diputuskan dan melaksanakan dengan penuh kesungguhan serta bertanggungjawab atas apa yang dilaksanakan.

Selain beberapa hal tersebut, seorang pemimpin juga harus memiliki perilaku yang wicaksono atau bijaksana, dimana dalam mengambil suatu keputusan ia harus memilih dengan tepat dan adil di atas kepentingan orang banyak. Perilaku bijaksana bukan berarti memberikan suatu perlakuan khusus kepada segelintir orang yang berpamrih mendapatkan sesuatu atas apa yang telah dilakukannya. Namun lebih bersifat sebagai problem solving atau mencari jalan terbaik dari apa yang menjadi permasalahan publik dengan mengedepankan kepuasan semua pihak.

Itulah kiranya keinginan dan tuntutan kita kepada calon pemimpin yang nantinya akan duduk pada kursi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sebagai masyarakat, kita hanya memiliki kepercayaan dan dukungan kepada mereka yang memang benar-benar memiliki komitmen untuk dipercaya (amanah) dalam melaksanakan tugasnya.

Memang, apabila kita merenung, sangatlah sulit melaksanakan hal-hal tersebut di waktu seperti sekarang, apalagi jika kondisi sistem dalam organisasi ataupun lingkungan tidak mendukung seseorang melaksanakan perubahan tersebut. Sekali lagi, di sinilah arti penting kepemimpinan yang dimiliki seseorang. Ia akan mampu melaksanakannya atau tidak sama sekali dan terjebak dalam kondisi yang sama.

(Oktober 2008)

Jumat, 10 Oktober 2008

Melihat Fenomena Otonomi Kita

(Oleh : Jalu Setio Bintoro, S.Sos)
Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat negara Republik Indonesia sangat sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Jakarta (pemerintah pusat). Dengan kata lain, rezim Orde Baru mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran (daerah). Melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah maka pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan pelayanan publik diharapkan akan menjadi lebih sederhana dan cepat karena dapat dilakukan oleh pemerintah daerah terdekat sesuai kewenangan yang ada. Kebijakan ini dibutuhkan untuk menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Bangsa Indonesia melakukan reformasi tata pemerintahan semenjak diberlakukannya undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak saat itu berbagai pemikiran inovatif dan uji coba terus dilakukan sebagai upaya untuk menyempurnakan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi.
Sejak dilaksanakannya undang-undang tersebut, masih ditemukan berbagai permasalahan, antara lain: (a) belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, (b) berbedanya persepsi para pelaku pembangunan terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, (c) masih rendahnya kerjasama antar pemerintah daerah, (d) belum terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif dan efisien, (e) masih terbatas dan rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah, (f) masih terbatasnya kapasitas keuangan daerah, dan (g) pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah) yang masih belum sesuai dengan tujuannya.
Berbagai permasalahan tersebut diperbaiki melalui revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah, yang telah dimulai dengan mengganti kedua undang-undang tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Saat ini, selain adanya wacana otonomi yang seluas-luasnya yang mengakibatkan ancaman disintegrasi sebagai akibat penerapan Undang-undang No. 22 tahun 1999, juga bermunculan aspirasi dari berbagai daerah yang menginginkan dilakukannya pemekaran provinsi atau kabupaten. Dalam upaya pembentukan provinsi dan kabupaten baru ini, tarik-menarik antara kelompok yang setuju dan tidak setuju terhadap pemekaran daerah sebagai akibat dari otonomi daerah meningkatkan suhu politik lokal. Indikasi ini tercermin dari munculnya ancaman dari masing-masing kelompok yang pro dan kontra terhadap terbentuknya daerah baru, mobilisasi massa dengan sentimen kesukuan, bahkan sampai ancaman pembunuhan dan huru-hara.
Salah satu aspek yang sangat penting dari pelaksanaan otonomi daerah saat ini adalah terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat
lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Dengan interaksi yang lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah baru, maka masyarakat sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara lebih baik sebagai warga negara. Sejak otonomi daerah diberlakukan, berangsur-angsur, pemekaran wilayah pun direalisasikan dengan pengesahannya oleh Presiden Republik Indonesia melalui undang-undang. Proses pemekaran terjadi begitu pesat dan cenderung tidak terkendali. Terdapat 7 propinsi, 135 Kabupaten dan 32 kota yang terbentuk sebagai hasil pemekaran sesuai dengan daftar yang dikeluarkan oleh DPD pada September 2007(DRSP, 2007).
Ketertinggalan pembangunan suatu wilayah karena rentang kendali pemerintahan yang sangat luas dan kurangnya perhatian pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik, sering menjadi alasan untuk pengusulan pembentukan daerah otonom baru sebagai solusinya. Namun demikian, dalam pelaksanaannya proses pembentukan daerah otonom baru lebih banyak mempertimbangkan aspek politis, kemauan sebagian kecil elite daerah, dan belum mempertimbangkan aspek-aspek lain selain yang disyaratkan melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, terbentuknya daerah otonom baru setiap tahunnya akan membebani anggaran negara karena meningkatnya belanja daerah untuk keperluan penyusunan kelembagaan dan anggaran rutinnya sehingga pembangunan di daerah otonom lama (induk) dan baru tidak mengalami percepatan pembangunan yang berarti. Pelayanan publik yang semestinya meningkat setelah adanya pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah), tidak dirasakan oleh masyarakatnya, bahkan di beberapa daerah kondisinya tetap seperti semula.
Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan.

Pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan. Pemekaran wilayah juga diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah. Tujuan pemekaran sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundangan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:

1. peningkatan pelayanan kepada masyarakat;

2. percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;

3. percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;

4. percepatan pengelolaan potensi daerah;

5. peningkatan keamanan dan ketertiban;
Untuk kepentingan itu, Pemerintah pusat tetap harus mengatur dan menjalankan urusan di beberapa sektor di tingkat kabupaten dan menjamin bahwa pemerintah lokal punya kapasitas dan mekanisme bagi pengaturan otonomi atas bidang-bidang tertentu dan penyelesaian perselisihan. Selain itu, pemerintah pusat juga harus menguji kembali dan memperketat kriteria pemekaran wilayah dengan lebih mengutamakan kelangsungan hidup ekonomi kedua kawasan yang bertikai, demikian pula tentang pertimbangan keamanan, karena jika pemekaran daerah tanpa tujuan dan pengelolaan yang benar, justru akan menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu Tuntutan pemekaran yang sama sekali tidak memiliki urgensi, tidak memenuhi persyaratan dan tidak memberikan manfaat nyata bagi rakyat di daerah, harus kita tolak secara tegas.
Evaluasi juga akan memberi kesempatan kepada kita untuk melakukan konsolidasi terhadap daerah-daerah otonom baru serta daerah-daerah induk yang dimekarkan, baik dari segi tata pemerintahan, kapasitas birokrasi maupun pengelolaan keuangan daerahnya. Saat ini telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dengan peraturan pemerintah ini, kebijakan pemekaran daerah dapat dilakukan lebih selektif dan hati-hati.

Jumat, 11 Juli 2008

Membenahi Birokrasi Kita


Oleh : Jalu Setio Bintoro,S.Sos

Empat tahun setelah reformasi bergulir, tepatnya februari 2002, Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjadi presiden, menyebut birokrasi pemerintahan seperti keranjang sampah. Birokrat hanya melakukan apa yang menyenangkan bagi atasan sekaligus menyenangkan dirinya sendiri. Dalam hal ini, saya kemudian teringat akan Serat Kalatidha karya pujangga Keraton Surakarta Ronggowarsito. Pada bait ke-1 dan ke-2 pupuh Sinom Serat Kalatidha diuraikan (terjemahan bebas ke bahasa Indonesia):

1. Sekarang martabat negara, tampak telah sunyi sepi, (sebab) rusak pelaksanaan peraturannya, karena tanpa teladan, (maka) sang Pujangga (Ronggowarsito) diliputi oleh kesedihan hati, (merasa) tampak kehinannya, (bagaikan) kehilangan tanda-tanda kehidupannya, (karena mengetahui) kesengsaraan dunia yang tergenang oleh berbagai halangan.

2. Rajanya raja utama, patihnya seorang patih yang amat pandai, para menterinya bertekad selamat, para punggawa rendahan dan atasannya baik-baik, namun tidak menjadi, pencegah jaman terkutuk, berbeda-beda loba angkara orang di seluruh negeri.

Walaupun syair di atas ditujukan untuk menggambarkan suasana birokrasi pada masa lampau pada saat karya sastra itu ditulis, tanpa disadari dan mungkin cenderung untuk menyederhanakan permasalahan, apa yang diungkapkan sang pujangga tadi mempunyai relevansi dengan masa sekarang. Ketika birokrasi cenderung menekankan kepada “semangat penyelenggara negara”, yang penting orangnya baik, maka yang terjadi justru birokrasi yang tidak mencerminkan tata kelola yang baik. Padahal, secara teoritik, birokrasi merupakan syarat dalam kehidupan bersama. Birokrasi menjadi alat untuk menjaga konsistensi, keteraturan, keseragaman, kekompakan, betapapun menjengkelkannya, orang sering merasakannya. Birokrasi melayani setiap orang sesuai dengan aturan main. Birokrasi bisa mengakomodasi hak dan kebebasan begitu banyak orang dan kepentingan, tanpa menjadi anarkhis. Birokrasi dibutuhkan di negara otoriter, juga di negara demokrasi.

Banyak Sarjana yang bahkan menempatkan birokrasi menjadi salah satu fondasi untuk memelihara momentum transisi ke demokrasi. Ia menjadi bagian dari governance, sebagai the sum of many ways that individuals and institution, public and private, manage their common affairs. Bahkan, posisi birokrasi terutama di negara sedang berkembang, digambarkan Mochtar Mas’oedsebagai aktor omnipoten, inisiator dan perencana pembangunan, yang mencari dana dan yang menjalankan investasi pembanungan itu, yang menjadi manajer produksi maupun redistribusi outputnya, bahkan ia pula konsumen terbesar hasil kegiatan pembangunan itu.

Reformasi Birokrasi

Berbicara mengenai birokrasi pelayanan publik memang tiada pernah akan sepi dari pergunjingan. Rendahnya kualitas pelayanan publik sudah lama menjadi keluhan masyarakat banyak. Para pengusaha mengeluh mengenai rumit dan mahalnya harga pelayanan masyarakat, sementara masyarakat sering mengalami kesulitan untuk memperoleh akses terhadap pelayanan publik. Penyimpangan perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan pelayanan publik untuk masyarakat disebabkan karena hasil dari kompleksitas permasalahan dalam instansi pemerintahan. Pertama, seperti tidak ada sistem intensif untuk melakukan perbaikan. Kedua, buruknya tingkat diskresi atau pengambilan inisiatif dalam pelayanan publik yang ditandai dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada aturan formal (rule driven) dan petunjuk pimpinan dalam melaksanakan tugas pelayanan. Ketiga, budaya paternalisme yang tinggi, artinya aparat menempatkan pimpinan sebagai prioritas utama bukan kepentingan masyarakat.

Ketika reformasi dikumandangkan sejak 1998 dan seiring dilaksanakannya kebijakan desentralisasi, maka isu mengenai peningkatan kualitas pelayanan publik menjadi satu paket dengan isu tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean and good governance). Semenjak itu juga, berbagai daerah telah memelopori untuk melakukan transformasi birokrasi sehingga mampu melakukan pelayanan publik secara lebih prima. Juga pada era ini banyak terungkap kasus korupsi di daerah, yang pelakunya elit pemerintah baik itu di lembaga birokrasi maupun DPRD.

Sekarang perlu ditanyakan apa yang dimaksud dengan reformasi birokrasi? Feisal Tamin, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara mendefinisikannya sebagai penataan ulang secara bertahap sehingga pendayagunaan aparatur negara semakin meningkat, meliputi kelembagaan yang efisien, tata laksana yang jelas, sumber daya manusia yang profesional, yang mempunyai akuntabilitas tinggi kepada masyarakat serta menghasilkan pelayanan publik yang prima. Singkatnya reformasi birokrasi mengandung maksud adanya proses atau rangkaian kegiatan dan tindakan yang serius, rasional dan realistis sehingga ada konsep dan sistem yang jelas. Paling tidak ada tiga sasaran reformasi birokrasi, yaitu : sistem, kebijakan peraturan perundang-undangan dan akhlak serta moral SDM.

Perspektif Struktur

Penataan ulang birokrasi dalam aspek kelembagaan yang efisien di atas dewasa ini yang menjadi persoalan yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam. Alih-alih berwatak efisien, nampaknya “pemborosan” struktur merupakan satu kata yang cukup tepat untuk mewakili potret birokrasi dewasa ini. Misalnya, pada tingkat pusat terdapat Departemen Agama (Depag), namun di sisi lain masih ada pula lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Perbedaan pendapat dari kedua lembaga ini justru akan membingungkan rakyat banyak, misal dalam contoh kasus adanya fatwa MUI yang menyebutkan bahwa aliran Ahmadiyah adalah sesat, namun Depag menyatakan bahwa Ahmadiyah tidak sesat berdasarkan beberapa kriteria yang ditetapkan Depag. Hal ini kemudian menimbulkan keraguan pada lembaga penegak hukum (Kejaksaan) untuk mengambil tindakan follow up.

Di bidang lain, ketidakefektifan terlihat juga pada pelaksanaan tugas yang saling tumpang tindih, sebut saja BPPT, BATAN dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pada aspek hukum, kita juga melihat bagaimana seringkali hasil audit lembaga BPK dan BPKP tidak sama. Bahkan, hal itu menyulitkan bagi peradilan korupsi, misalnya untuk menetapkan mana yang dipakai sebagai alat bukti.

Tumbuhnya bermacam-macam lembaga independen (penasehat presiden atau penasehat menteri) seperti badan, lembaga, komisi, dan dewan, menurut versi Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, badan-badan ini disebut sebagai lembaga pemerintah nonstructural dan berjumlah minimal 42 buah yang dibentuk dengan aneka dasar hukum mulai UU sebanyak 23% (KPK, PPATK), PP sebanyak 7% (BPPN, LSF) dan Keprres sebanyak 70% (KHN, KON, KKSK).

Apa yang diuraikan di atas sangat terbatas pada birokrasi di lingkungan eksekutif nasional, bagaimana juga dengan birokrasi lokal setelah pemberlakuan PP No. 41 tahun 2007? Apabila kita tinjau, kinerja birokrasi di daerah memang terlihat lebih “tanggap” terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dengan perubahan sistem pelayanan yang diterapkan oleh berbagai pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan PAD daerahnya. Sebut saja Kabupaten Sragen yang menerapkan OSS (One Stop Service) dalam pelayanan masyarakatnya dengan satu kantor terpadu yang berisi berbagai macam dinas yang memiliki wewenang memberikan pelayanan dan izin. Hal tersebut dapat dilakukan karena memang ada komitmen kuat dari Bupati Sragen untuk meningkatkan kinerja birokrasi dalam rangka otonomi daerah.

Konsolidasi

Melihat fenomena di atas, sesungguhnya hal yang perlu dilakukan adalah melakukan konsolidasi dan penataan struktur birokrasi negara dari semula “kaya struktur miskin fungsi” menjadi “kaya fungsi miskin struktur”. Hal ini sudah tentu secara efektif menuntut adanya komitmen yang kuat dari presiden dan wakil presiden. Berbagai langkah penataan dewasa ini belum menunjukkan adanya grand desain yang mapan dalam upaya reformasi birokrasi. Apalagi sudah sering dipahami bahwa birokrasi tetap tidak steril dari politik. Keberhasilan sejumlah daerah melakukan reformasi birokrasi juga tidak terlepas dari komitmen kuat pemimpin daerah masing-masing. Di samping faktor kepemimpinan, diperlukan juga upaya demokratisasi dan pertisipasi dalam segenap upaya reformasi birokrasi dan pembaharuan kelembagaan dengan dukungan penataan sistem aturan dan sistem administrasi penunjang yang diperlukan. Dengan demikian, impian tentang agenda konsolidasi dan penataan kembali sistem birokrasi dan pemerintahan dapat segera dimulai dengan terukur dan terjadwal.

Kamis, 19 Juni 2008

Malaysia oh Malaysia ....


(Oleh : Jalu Setio Bintoro, S.Sos)

Mendengar kata itu tentunya kita akan ingat tentang negara tetangga kita yang sama-sama tergabung dalam ASEAN. Ya, Malaysia memang negara tetangga yang paling dekat sebelum Timor Leste merdeka. Banyak nilai-nilai historis yang telah Indonesia jalani dalam bertetangga dengan Malaysia pada kurun waktu dahulu hingga saat ini. Banyak pula hal-hal positif yang telah kita lakukan bersama, disamping tidak sedikit hal negatif yang terjadi dalam hubungan kita dengan Malaysia.
Apabila kita menengok perjalanan sejarah negara-negara di Asia Tenggara, hampir keseluruhan negara mengalami penjajahan (kecuali Thailand). Ini menyebabkan masing-masing negara ingin untuk merdeka dan berdaulat. Tidak terkecuali Indonesia, yang saat itu sedang mengalami penjajahan oleh Belanda dan Jepang. Setelah Indonesia mengikrarkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, maka lepaslah semua negara yang menginginkan Indonesia sebagai negara jajahannya.
Tidak demikian dengan Malaysia yang saat itu “dijajah” dan dikuasai oleh kerajaan Inggris. Mereka tidak menginginkan suatu “kemerdekaan” yang didefinisikan dengan mengatur sendiri rumah tangga negaranya, karena Malaysia memang saat itu tidak merasa dijajah.
Kenyataan ini lalu membuat Indonesia berang. Presiden Soekarno yang saat itu menjabat sebagai Pimpinan Tertinggi Angkatan Bersenjata indonesia kemudian mengeluarkan maklumat yang terkenal dengan nama “DWIKORA”, yang berisikan perintah kepada segenap komponen bersenjata Indonesia untuk ikut aktif dalam rangka pembebasan Malaysia dari Kerajaan Inggris dengan semboyan “Ganyang Malaysia”. Dalam pelaksanaannya, kebijakan tersebut banyak menimbulkan korban jiwa dari pihak Indonesia yang menjadi sukarelawan pembebasan Malaysia dan tertangkap oleh tentara diraja Malaysia.
Bahkan untuk membuktikan gertakannya tersebut, Soekarno membawa Indonesia keluar dari PBB, dengan alasan salah satu diantaranya adalah bahwa Malaysia juga berada pada organisasi yang sama.
Soekarno menganggap Malaysia haruslah merdeka dan berdaulat seperti halnya Indonesia, lepas dari pengaruh kekuasaan negara lain. Hal ini dapat kita maklumkan, dengan alasan pada saat itu Indonesia memiliki kecondongan ke arah blok timur (komunis).
Karena hal itulah, pada dekade 60-an Indonesia memiliki hubungan yang renggang dengan Malaysia, yang saat itu belumlah memiliki “kekuatan” seperti sekarang ini.
Barulah setelah adanya normalisasi hubungan di bawah Presiden Soeharto, hubungan yang kurang harmonis itu membaik kembali. Malaysia yang saat itu merasa “tertinggal” dari Indonesia tidak malu-malu mengakui kekurangannya tersebut. Banyak Guru-guru dari Indonesia yang juga menjadi pengajar di sekolah ataupun perguruan tinggi di Malaysia. Teknisi, prajurit, bahkan mahasiswa Malaysia banyak yang dikirim ke Indonesia untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan di Indonesia.
Dari tahun ke tahun hubungan yang harmonis tersebut, kian erat dengan adanya ASEAN dan berbagai nota kesepakatan kerja sama bilateral antar kedua negara. Contohnya adalah banyaknya tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke Malaysia untuk bekerja sebagai TKI.
Namun, dalam beberapa dasawarsa ini, Malaysia mulai menunjukkan gelagat yang dalam kacamata kita sangat tidak bersahabat. Dalam tulisan ini, penulis hendak mengangkat tentang masalah-masalah yang menonjol dalam hubungan Indonesia dengan Malaysia. Ada dua masalah yang tercatat sangat menonjol, yaitu (1) bidang sosial budaya dan (2) kedaulatan. Di bidang sosial, sebagai contohnya adalah tentang peliknya persoalan TKI. Terjadinya kekerasan, pengiriman ilegal, atau bahkan eksploitasi dan jumlah TKI yang bekerja di Malaysia yang sangat di luar kontrol pemerintah Indonesia. Indonesia seperti tidak berdaya dengan berbagai kebijakan Malaysia tentang TKI. Perlindungan dan perhatian terhadap eksistensi mereka sangat kurang, namun “hasil” dari adanya mereka sangat diperhatikan. Sungguh Ironis. Di negara Indonesia sendiri, dengan terbatasnya lapangan pekerjaan yang ada dan rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki semakin memperkuat keinginan untuk berburu ringgit di Malaysia.
Di bidang budaya, Malaysia mulai mengganggu kita dengan adanya klaim lagu rasa sayange dan alat musik angklung, bahkan beberapa waktu lalu Malaysia juga mengklaim seni tradisional Reog Ponorogo dengan nama Barongan. Kita tahu bahwa semua seni budaya tersebut benar-benar asli Indonesia. Namun kelemahan pemerintah Indonesia adalah kurang memperhatikan dan melestarikan berbagai kesenian dan kebudayaan tersebut, barulah setelah ada reaksi dari rakyat pemerintah tergopoh-gopoh memberikan perhatiannya dan memiliki sedikit “keberanian” untuk “buka suara” terhadap kebijakan Malaysia.
Sedangkan pada bidang kedaulatan, baru-baru ini sedikitnya telah 3 kali tercatat adanya permasalahan yang berkaitan dengan perbatasan kedua negara, pertama yaitu adanya klaim kepemilikan pulau sipadan dan ligitan yang dimenangkan Malaysia setelah melalui diplomasi di Mahkamah Internasional. Kedua, adalah klaim perairan ambalat di Kalimantan Timur oleh Malaysia. Untuk kasus kedua ini, bahkan menyeret kekuatan angkatan bersenjata kedua negara untuk saling berhadapan, dan menimbulkan respon horisontal rakyat Indonesia untuk kembali meng”Gayang Malaysia”. Ketiga, adalah pembangunan helipad yang dilaksanakan di dalam radius steril perbatasan kedua negara. Pihak Departemen Kehutanan telah menemukan ini adalah pelanggaran dari perjanjian malindo tahun 1967, yang menyebutkan bahwa “dalam radius 2 km dari perbatasan darat kedua negara harus steril dari pembangunan (kecuali pos pengamanan perbatasan)”.
Apabila kita amati, ada persamaan dari ketiga kasus ini, yaitu diantara ketiganya memperlihatkan “ketidakberdayaan” Indonesia dalam menghadapi gempuran-gempuran Malaysia. Malaysia berupaya mencari celah secara terus menerus untuk menggerogoti wilayah kedaulatan NKRI atau bahkan segala sesuatu yang berasal dari Indonesia. Apabila upaya ini tidak berhasil, karena telah diatur dalam suatu perjanjian atau aturan misalnya, Malaysia tidak segan-segan “mengakuinya”, namun apabila tidak ada suatu aturan atau kekuatan yang menaunginya, Malaysia pun tidak segan-segan “mencaplok”nya dari Indonesia.
Dengan adanya berbagai hal yang dapat menghadapkan kedua negara pada konflik horisontal atau bahkan bersenjata karena ulah “iseng-iseng berhadiah” dari Malaysia, sudah seyogyanya Indonesia meninjau ulang semua kebijakan yang berhubungan dengan Malaysia. Saat ini, kita seperti macan ompong yang tidak berdaya dan hanya bisa mengangguk, jangankan menerkam, bicara saja sudah sulit.Rakyat indonesia hanya menginginkan kita hidup dalam kebersamaan dengan aman dan tenteram serta berdaulat pada masing-masing negara. Namun, apabila Malaysia terus-menerus mengganggu, dan Indonesia terus-menerus tidak berdaya, maka kemungkinan dari suatu prediksi yang mengatakan bahwa suatu saat nanti negara Indonesia akan dikuasai oleh Malaysia akan benar-benar terjadi. Sungguh Ironis!!

Histeria Pemilihan Langsung (Direct Vote)


Oleh : Jalu Setio Bintoro, S.Sos

Dewasa ini kita sering menyaksikan di televisi sebuah fenomena baru yang cukup menyita perhatian kita. Ya…pemilihan langsung kepala daerah (PILKADA), sebagai apresiasi dari pesta demokrasi di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bersama, Pilkada merupakan salah satu imbas dari adanya keinginan politik rakyat untuk memilih sendiri calon pemimpinnya. Alih-alih untuk meningkatkan kualitas hidup mereka, para pemimpin yang ada malah terkesan menjadi raja-raja kecil di daerah dengan diterapkannya Undang-undang otonomi daerah No. 32 tahun 2002.
Pilkada langsung yang diselenggarakan di beberapa daerah seringkali menimbulkan konflik horisontal di masyarakat yang sangat merugikan stabilitas politik dan keamanan. Bentrokan dan kericuhan, huru-hara dan aksi anarkhis massa yang biasanya ditimbulkan oleh ketidakterimaan mereka atas tidak terpilihnya calon yang mereka dukung sering mewarnai proses Pilkada di daerah. Sebut saja Sulawesi Selatan dan Maluku Utara, dua daerah yang hingga kini masih dalam proses penyelesaian masalah. Solusinya, di Sulsel diadakan pemilihan ulang, dan di Malut diadakan penunjukan berdasarkan hasil pemilihan yang telah dilakukan beberapa waktu lalu.
Namun demikian ada pula Pilkada yang diselenggarakan dengan aman dan tertib seperti yang kita lihat pada pemilihan Gubernur di Ibukota negara kita Jakarta. Hal inilah yang seharusnya menjadi contoh bagi pelaksanaan Pilkada di daerah lain. Karena seperti kata pepatah, kegiatan dalam hal politik seperti ini bagaikan pendulum, Apabila elite politik yang berada di atas sedikit “bergerak”, maka masyarakat bawah (grass root) akan bergerak lebih hebat lagi.
Di tingkat kabupaten dan kota, histeria Pilkada langsung juga tak kalah serunya. Sebut saja Pilkada walikota dan wawalikota Surakarta beberapa waktu silam, gebyar pemilihan langsung yang pertama kali bagi warga kota Surakarta ini benar-benar meriah dan melibatkan berbagai elemen masyarakat yang tidak sedikit jumlahnya. Tidak tanggung-tanggung, 5 pasang calon menjagokan dirinya dalam Pilkada tersebut.
Apabila kita melihat berbagai fenomena di atas, maka dapat dikatakan bahwa dalam hal berpolitik telah ada partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerahnya. Namun demikian, partisipasi ini masih sebatas “histeria” belaka. Jika boleh diibaratkan, posisi masyarakat dalam kegiatan ini adalah penonton yang sedang menyaksikan pertandingan sepak bola. Terjadinya gol yang dilakukan oleh pemain bukanlah karena tepuk tangan penonton. Adanya penghargaan pun diberikan kepada pemain. Apabila terjadi kekalahan, penonton pun tidak rugi. Namun demikian, penonton akan rela antri berjam-jam, terinjak-injak, bahkan baku pukul apabila timnya kalah atau diejek pihak lain.
Dalam sepak bola, ini lazim terjadi dan menjadi hal yang lumrah. Namun, apabila ini terjadi dalam pemilihan pemimpin kita, sungguh ironis sekali.
Dewasa ini terjadi improvisasi janji pasangan calon kepala daerah, yaitu dengan memberikan kontrak politik kepada rakyat. Ini adalah suatu kemajuan yang harus kita dukung, karena dengan adanya kontrak politik, maka calon yang terpilih akan benar-benar melaksanakan apa yang dijanjikannya sebagai prioritas yang utama atau mundur apabila tidak dapat melaksanakannya. Mengapa hal ini perlu?? Dengan adanya kontrak politik, para politikus yang mencalonkan diri tidak akan sembarang mengobral janji yang sensasional namun tidak rasional, dan partisipasi rakyat sebagai bagian dari warga negara tidak serta merta diabaikan.Demikian yang dapat kami tulis sebagai perenungan kita bersama agar kita dapat memiliki pimpinan yang jujur, adil, dan merakyat!

Selasa, 27 Mei 2008

Revitalisasi BUMN di Indonesia

Ditulis dengan bangga oleh : Jalu Setio Bintoro, S.Sos
Menyambut 100 tahun kebangkitan nasional, 44 BUMN kita malah akan direncanakan untuk “dijual” pada investor asing. Tentu hal ini dari perspektif ekonomi adalah suatu langkah untuk menyelamatkan kondisi riil finansial negara. Namun apakah memang demikian jalan yang terbaik??
Apabila kita menengok lagi tentang peran BUMN (Badan Usaha Milik Negara), yang beberapa darinya mungkin dapat kita katakan sangat vital dan menguasai hajat hidup orang banyak karena adanya fungsi monopoli. Peran BUMN yang seperti itu jelas-jelas telah diatur dalam UUD 1945 pasal 33 dimana disebutkan “Tanah, air dan segala hal yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Dari sinilah tersurat bagaimana peran BUMN harus dijalankan. Dengan dikuasainya BUMN oleh negara, maka diharapkan BUMN akan memberikan keuntungan yang signifikan sebagai sumber APBN kita, dan dikelola dengan profesional sebagai suatu perusahaan pada umumnya. Namun tidaklah demikian dengan BUMN di Indonesia, keuntungan dikeruk terus, namun pengelolaan kurang diperhatikan. Para pengelola BUMN pun apatis terhadap perubahan situasi dan kondisi yang mengharuskan mereka menyesuaikan diri. Langkah-langkah pengelolaan BUMN dewasa ini terkesan “lari di tempat”. Bagaimana tidak, lihat saja berbagai kekurangan di sana sini dari berbagai sisi BUMN kita. Infrastruktur kurang memadai, kepuasan pelayanan publik kurang diperhatikan, kebocoran keuangan di sana-sini, hasil produk kurang berkualitas karena para tenaga kerja kurang bersemangat dalam bekerja dan produk-produk BUMN kurang menarik bagi konsumen, gaji pegawai rendah.
Dari berbagai kekurangan ini seharusnya BUMN berbenah ke dalam dan melihat hal ini sebagai kekurangefektifan pengelolaan, tidak kemudian menyalahkan pihak lain sehingga BUMN tidak berkembang. Satu contoh misalnya, PT. KAI (Kereta Api Indonesia), kita ketahui bersama bahwa kereta api adalah salah satu alat transportasi yang selalu digemari masyarakat. Pengembangan PT. KAI terganjal pada kondisi keuangan perusahaan. Padahal, di sisi lain, load factor PT. KAI mencapai hampir 100%. Dengan pemasukan yang dapat diperhitungkan, seharusnya PT. KAI mengalami surplus dan dapat mengembangkan sayap usahanya dengan memperbaiki infrastruktur yang ada, menambah jumlah trayek atau bahkan membuka trayek-trayek baru di pulau-pulau besar lainnya seperti Kalimantan atau Sulawesi, dan memperbaiki kesejahteraan pegawainya. Namun apa daya, yang kita saksikan selama ini, angkutan kereta api selalu penuh sesak, namun kecelakaan karena buruknya infrastruktur terjadi di sana sini.
Di bidang lain, PT DI (Dirgantara Indonesia) yang bergerak dalam bidang dirgantara dan menghasilkan produk berupa alat transportasi udara seperti pesawat terbang dan helikopter. Dahulu para pendiri PT. DI atau yang kita kenal dengan sebutan IPTN (dulu) memprediksikan bahwa pengadaan pesawat dan suku cadang bagi maskapai penerbangan komersil akan dapat dipenuhi oleh IPTN. Dengan produk kebanggaan Indonesia seperti pesawat CN-235 dan N-250, serta helikopter bell yang terkenal. Namun saat ini yang terjadi adalah suatu keadaan mati suri, hidup segan mati tak mau. Bagaimana ini terjadi?? Produk-produk IPTN tidak diminati pasar, pemerintah kurang bergairah dalam menyikapi perkembangan IPTN, tidak ada kebijakan yang bersifat melindungi produksi dalam negeri. Para ahli dan teknisi, lebih memilih bekerja pada perusahaan lain yang lebih menguntungkan, karena sebagai BUMN, gaji mereka terbilang cukup kecil dibanding perusahaan lainnya. Akhirnya, berbagai maskapai penerbangan komersil Indonesia lebih memilih menyewa pesawat ketimbang harus membelinya dari IPTN. Ratusan karyawan PT. DI di-PHK sebagai langkah perampingan perusahaan. Dengan kondisi yang demikian, jangan salahkan PT DI apabila terus merugi.
Mungkin apabila kita tengok, tidak semua BUMN mengalami nasib yang sama. Sebagai contoh lain misalnya, PT. GIA (Garuda Indonesia Airlines). Mereka masih terbilang cukup punya taring di kancah pelayanan transportasi udara tanah air. Mengapa?? Di samping manajemen yang telah berbenah mengikuti perkembangan zaman, Garuda juga mendapatkan “maha proyek” tiap tahunnya dengan adanya penyelenggaraan ibadah haji yang menggunakan penerbangan penuh oleh Garuda. “Perhatian” semacam inilah yang diharapkan diberikan pemerintah kepada BUMN. Namun demikian, kepuasan pelanggan memang harus diutamakan. Jadi perusahaan bukan dipilih karena memegang monopoli semata, namun benar-benar sebagai pilihan pelanggan karena kualitas layanan yang baik.
Apabila kita komparasikan, BUMN yang memonopoli kegiatan usahanya tidak akan dapat kita nilai secara signifikan, karena mau tidak mau pelanggan harus menjadi kliennya. Sebagai contoh : PLN, PT. KAI, PERTAMINA, dll dimana ada kecenderungan BUMN seperti ini akan menjadi sewenang-wenang karena tidak adanya rival dalam menjalankan usahanya. Lain halnya dengan BUMN yang bersaing dengan adanya rival sebagai manifestasi dari diaplikasikannya Good Governance, dimana sebagian dari tugas negara dapat pula dilaksanakan oleh organisasi privat dan non pemerintah. BUMN tipe ini akan lebih mengikuti selera pelanggan agar didapatkan kepuasan pelanggan yang bertujuan agar pelanggan tidak lebih memilih perusahaan lain.
Dari penjelasan tersebut, dapat kita lihat bahwa apabila BUMN yang bergerak bersama organisasi privat dalam satu bidang usaha masih menggunakan paradigma lama dan tidak responsif terhadap perkembangan, maka lambat laun BUMN ini pasti akan gulung tikar dilibas pesaingnya, sebagai contoh kasus saat ini adalah DAMRI, yang bergerak pada penyediaan transportasi dan pengangkutan darat. Apabila kita analisa lebih dalam, pengelolaan DAMRI masih berbasis paradigma lama, gaji pegawai rendah, armada kuno, pelayanan tidak ramah, kurang tepat waktu dan tidak sesuai jadwal, lambat, dan kurangnya jaminan kenyamanan, sehingga para pengguna jasa transportasi darat lebih memilih angkutan lain dibanding DAMRI. Kalaupun harus memilih DAMRI, itupun karena terpaksa tidak ada alat transportasi lainnya.
Hal-hal inilah yang harus diperhatikan benar-benar bagi pemerintah sebagai PR bagi usaha revitalisasi BUMN saat ini, yaitu : (1) Adanya perhatian atau dukungan terhadap gerak dan laju BUMN (2) Restrukturisasi manajemen BUMN itu sendiri menjadi paradigma baru dan lebih responsif (3) Tidak menjadikan BUMN sebagai bulan-bulanan dalam memenuhi kebutuhan di luar APBN (4) Reformasi budaya dan etos kerja pegawai dan organisasi internal BUMN.Semoga apa yang kami tulis dapat menjadi referensi bagi perkembangan BUMN kita saat ini. Apabila pada tahun ’45 kita berjuang mengangkat derajat dan martabat bangsa dengan mengangkat senjata, maka di era milenium ini, kita berjuang mengangkat derajat dan martabat bangsa lewat memajukan IPOLEKSOSBUDHANKAM kita, jangan malah menenggelamkannya!!

Selasa, 20 Mei 2008

Refleksi 100 tahun Kebangkitan Nasional

Refleksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional
Mengukir Nasionalisme dalam Tindakan
(Oleh : Jalu Setio Bintoro, S.Sos)

Nasionalisme adalalah sebuah apresiasi dari kecintaan warga negara terhadap bangsa dan negerinya. Sebuah wujud pengorbanan segala hal terhadap tetap tegaknya nilai-nilai kenegaraan. Dan sebuah manifestasi dari keinginan untuk mempertahankan jati diri dan identitas nasional.
Nasionalisme selalu kita identikkan dengan kegiatan perjuangan mengangkat senjata melawan musuh, dan bertempur untuk memenangkan atau mempertahankan idealisme kita sebagai bangsa. Bahkan sampai saat ini, di sekolah-sekolah masih menempatkan nama-nama tokoh yang berkaitan dengan perjuangan bersenjata. Bukanlah suatu keburukan, bahkan hal itu merupakan suatu kebanggaan dan suri tauladan nasional terhadap perilaku rela berkorban dan cinta tanah air yang harus selalu kita jaga. Namun demikian, sebagai insan yang dewasa dan berwawasan, seyogyanya kita juga harus berpikir bagaimana para pelaku sejarah lainnya yang berjuang secara diplomatis, politis dan sosialis yang ikut mewarnai khasanah nasionalisme Indonesia dapat di”main stream”kan. Mengapa??
100 tahun sudah kita mengikrarkan kebangkitan nasional, tepatnya ketika pada 1908 para mahasiswa kedokteran STOVIA mendirikan “Boedi Oetomo”. Inilah tonggak sejarah kebangkitan nasional kita.
seabad sudah kebangkitan nasional kita dikumandangkan, pertanyaan besar yang selalu menggelitik benak kita adalah, sudahkah kita merasakan arti kebangkitan nasional. Para pendahulu kita dahulu telah mengemukakan bahwa perjuangan mereka lebih ringan daripada kita, karena mereka menghadapai musuh yang jelas dan nyata. Namun di era millenium ini, kita menghadapi krisis terhadap nilai-nilai kebangsaan, identitas dan jati diri yang berasal dari anak-anak bangsa sendiri, bukan orang lain.
Dari sinilah dapat kita lihat betapa pentingnya pelajaran tentang bagaimana para tokoh yang tidak berjuang mengangkat senjata meletakkan nasionalisme dalam setiap tindakan mereka dan dalam kerangka gagasan berpikir mereka, serta idealisme mereka terhadap nilai-nilai yang juga mereka perjuangkan.
Saat ini, ketika para orang-orang tua berbicara mengenai harga beras, minyak dan kebutuhan pokok lainnya, hati kita akan terpekur. Bagaimana justru di era 100 tahun Indonesia bangkit, kita malah terpuruk dalam berbagai sendi kehidupan. IPOLEKSOSBUDHANKAM, sebuah konsep tentang negeri kita, saat ini tidak satupun yang mengalami kebangkitan. Perubahan sering terjadi, namun hanya beberapa yang memiliki nilai siginifikan terhadap kebangkitan nasional. Di bidang ideologi, dapat kita lihat bagaimana gempuran globalisasi benar-benar telah melunturkan nilai-nilai dan semangat nasionalisme yang sebenarnya baik. Saat ini orang akan mencap jelek terhadap P4 adalah antek-antek orde baru, yang penting saat ini kita menjadi orang yang baik. Bagaimana kita menjadi orang yang baik jika kita tidak mengerti harus seperti apa mencitrakan diri sebagai bangsa Indonesia.
Pada bidang politik, kebebasan berpolitik dan mundurnya peran TNI dalam dunia politik adalah dua hal yang sangat membanggakan kita. Namun perilaku para politisi yang hanya memikirkan kepentingan pribadi sangat-sangat memprihatinkan. Masih segar dalam ingatan kita beberapa aktor politik yang masuk bui karena “kesandung” masalah korupsi. Dimana semangat nasionalisme mereka saat ini? Jangankan nasionalisme, memikirkan kepentingan golongan saja sudah sangat baik bagi mereka. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa berkecimpung di dunia politik menjadi anggota dewan adalah suatu investasi pribadi dalam bidang ekonomi lima tahunan. Namun demikian, kekuatan politik saat ini bukanlah merupakan suatu pressure group yang memiliki daya dobrak yang kuat. Berbagai kelompok terpecah dan saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan, persaingan saat ini tidak dapat lagi dikatakan persaingan yang sehat. Mungkin kita masih ingat bagaimana para politisi saling menjatuhkan pada masa kepemimpinan Bung Karno, sehingga DPR dibubarkan oleh beliau saat itu juga. Apabila kita mencermati, hal tersebut agaknya memiliki kesamaan dengan saat sekarang, dimana para aktor politik saling “adu kuat” bahkan terkadang sampai “adu jotos”.
Di sisi lain, bidang ekonomi kita benar-benar terpukul dengan berbagai krisis di bidang moneter, baik makro maupun mikro. Harga-harga tidak bisa tidak harus menyesuaikan kenaikan komoditi migas yang terus meroket di level dunia. Rakyat harus menelan pil pahit dengan semakin tingginya biaya hidup. Program-program dan kebijakan Kesra yang dijalankan pemerintah bukannya membantu, namun malah membius rakyat untuk terus menggantungkan diri. Pemerintah bukannya mendorong industri kerakyatan sebagai komoditi ekspor, namun malah berlomba-lomba menjual BUMN. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang digulirkan masih terus berkutat pada kaum konglomerat. Bahkan beberapa waktu lalu kita lihat bagaimana Bank Indonesia sebagai lembaga central di bidang finansial menjadi bulan-bulanan para konglomerat dan pejabat korup.
Di bidang sosial, 100 tahun masyarakat Indonesia bukanlah jaminan untuk rakyat dapat menghirup udara sejahtera di negeri sendiri. Kita kadang bertanya?? Apa gunanya ikrar jika rakyat masih sengsara. Rakyat miskin memang mulai diperhatikan, namun pengentasan yang belum seberapa diperparah dengan tambahan rakyat miskin yang ironisnya berasal dari mereka yang dulunya tidak miskin. Akses kaum kecil terhadap jaminan kesehatan, pendidikan, air bersih dan tempat tinggal sangatlah minim. Di sisi lain dapat kita saksikan bagaimana mal-mal, kondominium, apartemen mewah dan berbagai industri dibangun di atas tanah Indonesia. Namun apa daya, segala pembangunan tersebut tidak berimbas pada mereka kaum kecil. Mereka yang kaya akan semakin kaya, dan yang lemah akan semakin terpuruk. Begitu pula nasib para TKI yang sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi di tempat mereka bekerja. Tidak sedikit dari mereka hanya pulang nama atau menanggung cacat seumur hidup, tetapi tidak ada reaksi dari pemerintah yang signifikan untuk melindungi mereka.
Kebijakan dan program pemerintah yang bersifat baik seperti program KB, Transmigrasi, Pendidikan saat ini kurang mendapat perhatian yang serius dari pemerintah karena para pejabat takut dikatakan tidak kreatif dan tidak punya nyali. Program-program ini sebenarnya merupakan solusi dari adanya berbagai permasalahan sosial, namun demikian, memang perlu adanya penyesuaian agar kebijakan-kebijakan tersebut berdaya guna dan tepat sasaran. Sebagai contoh, dulu ada kebijakan pendidikan dalam program SD Inpres, saat ini tentunya jumlah anak usia sekolah SD sudah berkurang karena dampak dari program KB, maka kebijakan ini dapat diarahkan pada Perguruan Tinggi Inpres misalnya, tentu dengan fokus program yang relatif sama.
Dalam konteks budaya, tentunya seperti kita ketahui bersama banyak sekali nilai dan kebudayaan kita yang saat ini hilang. Sifat dan sikap “orang indonesia” yang ramah dan gotong royong hilang dihantam gelombang globalisasi. Kekerasan demi kekerasan sering terjadi di berbagai kehidupan masyarakat. Individualisme yang mengakar membuat kita bagai hidup di belantara dengan hukum rimbanya “siapa kuat dia yang menang”. Kebudayaan tradisional seakan menjadi milik orang-orang tua, karena hal itu mencerminkan ketidak”gaul”an perilaku mereka. Keadaan ini lebih diperparah dengan adanya klaim dari negara tetangga terhadap beberapa kebudayaan asli Indonesia. Namun sekali lagi, pemerintah tidak berdaya.
Pada bidang pertahanan dan keamanan lebih memprihatinkan lagi. Kondisi Alat utama sistem persenjataan (Alutsista) TNI berada pada titik yang cukup kritis. Alat dan kendaraan keluaran tahun ’60-an masih tetap dipakai dengan resiko yang cukup berbahaya bagi para prajurit. Kapal perang dan pesawat tempur milik TNI yang saat ini dapat digunakan dalam kondisi baik jumlahnya sangat terbatas. Pembelian peralatan perang sering hanya diproyeksikan pada produk-produk perang luar negeri. Keadaan ini semakin membuat kita miris manakala kita menengok kesejahteraan prajurit TNI dan Polri yang masih berada jauh dibawah apabila dikomparasikan dengan prajurit angkatan bersenjata negara tetangga. Namun demikian, sepertinya, kita patut mengacungi jempol pada TNI. Saat ini mereka sudah menetapkan bahwa pengadaan senjata serbu mereka akan dipenuhi seluruhnya dari industri senajata dalam negeri (PT. PINDAD). Hal ini cukup membanggakan mengingat banyak industri dalam negeri kita yang tidak termanfaatkan oleh bangsanya sendiri. Banyak manfaat yang bisa kita tarik dari contoh tersebut, misalnya, penarikan tenaga kerja, penghematan biaya pembelian, terpenuhinya kebutuhan TNI secara menyeluruh karena harga 1 unit senjata buatan PINDAD terbilang cukup murah dibanding harus membeli dari negara lain. Yang kemudian menjadi pertanyaan, akankah industri lain dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan produksi dalam negeri, seperti PT. PAL dan PT. DI (IPTN).
Di negara lain tidak ada ikrar tentang kebangkitan nasional, namun semangat penyelenggara negara, aparatur pemerintah, politisi, dan masyarakat sangat erat dan saling mendukung demi kejayaan negerinya, tidak saling menjatuhkan, saling berperang, atau saling curiga satu sama lain. Indonesia memang heterogen, namun sampai dimanakah kita memaknai “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan yang mempersatukan kita. Apakah negeri ini harus diserang musuh dulu baru bereaksi?? Jika kita mempersepsikan musuh saat ini dengan mengangkat senjata dan berperang, kita salah besar!! Musuh saat ini bergerak dalam penjajahan di bidang ideologi, ekonomi dan kebudayaan dan bersifat maya, namun nyata.
Tulisan ini ingin mengajak kita semua, dari berbagai lapisan masyarakat untuk merenung sejenak dan berpikir serta berbuat yang terbaik untuk bangsa Indonesia kita tercinta. Penulis percaya bahwa seburuk-buruk manusia pasti memiliki nurani yang akan berbisik kepada kita untuk mencintai negara ini dan berjiwa nasionalis dalam berbagai krisis yang saat ini melanda kita bersama. Apa yang dapat kita lakukan untuk menjadi nasionalis?? Itulah pertanyaan besar yang selalu hinggap di benak kita semua. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita berpikir, dan berbuat yang terbaik pada apapun yang kita lakukan saat ini dengan menempatkan segala sesuatu pada tempat dan porsinya tanpa berlebihan dan tidak pula kekurangan. Itulah makna Kebangkitan Nasional yang terpendam dalam arus globalisasi di abad ini.!Semoga tulisan ini bermanfaat bagi Netter semua, Merdeka!

Senin, 19 Mei 2008

Sekilas Info

Hi..netter!! Namaku Jalu Setio, aku mahasiswa S2 Mag. Adm Publik UNS Solo. Buat netter yang punya info2 seputar politik, silakan kirim ke email addres untuk ditampilkan di situs pribadiku ini. Thanks