Kamis, 19 Juni 2008

Malaysia oh Malaysia ....


(Oleh : Jalu Setio Bintoro, S.Sos)

Mendengar kata itu tentunya kita akan ingat tentang negara tetangga kita yang sama-sama tergabung dalam ASEAN. Ya, Malaysia memang negara tetangga yang paling dekat sebelum Timor Leste merdeka. Banyak nilai-nilai historis yang telah Indonesia jalani dalam bertetangga dengan Malaysia pada kurun waktu dahulu hingga saat ini. Banyak pula hal-hal positif yang telah kita lakukan bersama, disamping tidak sedikit hal negatif yang terjadi dalam hubungan kita dengan Malaysia.
Apabila kita menengok perjalanan sejarah negara-negara di Asia Tenggara, hampir keseluruhan negara mengalami penjajahan (kecuali Thailand). Ini menyebabkan masing-masing negara ingin untuk merdeka dan berdaulat. Tidak terkecuali Indonesia, yang saat itu sedang mengalami penjajahan oleh Belanda dan Jepang. Setelah Indonesia mengikrarkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, maka lepaslah semua negara yang menginginkan Indonesia sebagai negara jajahannya.
Tidak demikian dengan Malaysia yang saat itu “dijajah” dan dikuasai oleh kerajaan Inggris. Mereka tidak menginginkan suatu “kemerdekaan” yang didefinisikan dengan mengatur sendiri rumah tangga negaranya, karena Malaysia memang saat itu tidak merasa dijajah.
Kenyataan ini lalu membuat Indonesia berang. Presiden Soekarno yang saat itu menjabat sebagai Pimpinan Tertinggi Angkatan Bersenjata indonesia kemudian mengeluarkan maklumat yang terkenal dengan nama “DWIKORA”, yang berisikan perintah kepada segenap komponen bersenjata Indonesia untuk ikut aktif dalam rangka pembebasan Malaysia dari Kerajaan Inggris dengan semboyan “Ganyang Malaysia”. Dalam pelaksanaannya, kebijakan tersebut banyak menimbulkan korban jiwa dari pihak Indonesia yang menjadi sukarelawan pembebasan Malaysia dan tertangkap oleh tentara diraja Malaysia.
Bahkan untuk membuktikan gertakannya tersebut, Soekarno membawa Indonesia keluar dari PBB, dengan alasan salah satu diantaranya adalah bahwa Malaysia juga berada pada organisasi yang sama.
Soekarno menganggap Malaysia haruslah merdeka dan berdaulat seperti halnya Indonesia, lepas dari pengaruh kekuasaan negara lain. Hal ini dapat kita maklumkan, dengan alasan pada saat itu Indonesia memiliki kecondongan ke arah blok timur (komunis).
Karena hal itulah, pada dekade 60-an Indonesia memiliki hubungan yang renggang dengan Malaysia, yang saat itu belumlah memiliki “kekuatan” seperti sekarang ini.
Barulah setelah adanya normalisasi hubungan di bawah Presiden Soeharto, hubungan yang kurang harmonis itu membaik kembali. Malaysia yang saat itu merasa “tertinggal” dari Indonesia tidak malu-malu mengakui kekurangannya tersebut. Banyak Guru-guru dari Indonesia yang juga menjadi pengajar di sekolah ataupun perguruan tinggi di Malaysia. Teknisi, prajurit, bahkan mahasiswa Malaysia banyak yang dikirim ke Indonesia untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan di Indonesia.
Dari tahun ke tahun hubungan yang harmonis tersebut, kian erat dengan adanya ASEAN dan berbagai nota kesepakatan kerja sama bilateral antar kedua negara. Contohnya adalah banyaknya tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke Malaysia untuk bekerja sebagai TKI.
Namun, dalam beberapa dasawarsa ini, Malaysia mulai menunjukkan gelagat yang dalam kacamata kita sangat tidak bersahabat. Dalam tulisan ini, penulis hendak mengangkat tentang masalah-masalah yang menonjol dalam hubungan Indonesia dengan Malaysia. Ada dua masalah yang tercatat sangat menonjol, yaitu (1) bidang sosial budaya dan (2) kedaulatan. Di bidang sosial, sebagai contohnya adalah tentang peliknya persoalan TKI. Terjadinya kekerasan, pengiriman ilegal, atau bahkan eksploitasi dan jumlah TKI yang bekerja di Malaysia yang sangat di luar kontrol pemerintah Indonesia. Indonesia seperti tidak berdaya dengan berbagai kebijakan Malaysia tentang TKI. Perlindungan dan perhatian terhadap eksistensi mereka sangat kurang, namun “hasil” dari adanya mereka sangat diperhatikan. Sungguh Ironis. Di negara Indonesia sendiri, dengan terbatasnya lapangan pekerjaan yang ada dan rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki semakin memperkuat keinginan untuk berburu ringgit di Malaysia.
Di bidang budaya, Malaysia mulai mengganggu kita dengan adanya klaim lagu rasa sayange dan alat musik angklung, bahkan beberapa waktu lalu Malaysia juga mengklaim seni tradisional Reog Ponorogo dengan nama Barongan. Kita tahu bahwa semua seni budaya tersebut benar-benar asli Indonesia. Namun kelemahan pemerintah Indonesia adalah kurang memperhatikan dan melestarikan berbagai kesenian dan kebudayaan tersebut, barulah setelah ada reaksi dari rakyat pemerintah tergopoh-gopoh memberikan perhatiannya dan memiliki sedikit “keberanian” untuk “buka suara” terhadap kebijakan Malaysia.
Sedangkan pada bidang kedaulatan, baru-baru ini sedikitnya telah 3 kali tercatat adanya permasalahan yang berkaitan dengan perbatasan kedua negara, pertama yaitu adanya klaim kepemilikan pulau sipadan dan ligitan yang dimenangkan Malaysia setelah melalui diplomasi di Mahkamah Internasional. Kedua, adalah klaim perairan ambalat di Kalimantan Timur oleh Malaysia. Untuk kasus kedua ini, bahkan menyeret kekuatan angkatan bersenjata kedua negara untuk saling berhadapan, dan menimbulkan respon horisontal rakyat Indonesia untuk kembali meng”Gayang Malaysia”. Ketiga, adalah pembangunan helipad yang dilaksanakan di dalam radius steril perbatasan kedua negara. Pihak Departemen Kehutanan telah menemukan ini adalah pelanggaran dari perjanjian malindo tahun 1967, yang menyebutkan bahwa “dalam radius 2 km dari perbatasan darat kedua negara harus steril dari pembangunan (kecuali pos pengamanan perbatasan)”.
Apabila kita amati, ada persamaan dari ketiga kasus ini, yaitu diantara ketiganya memperlihatkan “ketidakberdayaan” Indonesia dalam menghadapi gempuran-gempuran Malaysia. Malaysia berupaya mencari celah secara terus menerus untuk menggerogoti wilayah kedaulatan NKRI atau bahkan segala sesuatu yang berasal dari Indonesia. Apabila upaya ini tidak berhasil, karena telah diatur dalam suatu perjanjian atau aturan misalnya, Malaysia tidak segan-segan “mengakuinya”, namun apabila tidak ada suatu aturan atau kekuatan yang menaunginya, Malaysia pun tidak segan-segan “mencaplok”nya dari Indonesia.
Dengan adanya berbagai hal yang dapat menghadapkan kedua negara pada konflik horisontal atau bahkan bersenjata karena ulah “iseng-iseng berhadiah” dari Malaysia, sudah seyogyanya Indonesia meninjau ulang semua kebijakan yang berhubungan dengan Malaysia. Saat ini, kita seperti macan ompong yang tidak berdaya dan hanya bisa mengangguk, jangankan menerkam, bicara saja sudah sulit.Rakyat indonesia hanya menginginkan kita hidup dalam kebersamaan dengan aman dan tenteram serta berdaulat pada masing-masing negara. Namun, apabila Malaysia terus-menerus mengganggu, dan Indonesia terus-menerus tidak berdaya, maka kemungkinan dari suatu prediksi yang mengatakan bahwa suatu saat nanti negara Indonesia akan dikuasai oleh Malaysia akan benar-benar terjadi. Sungguh Ironis!!

Tidak ada komentar: