Minggu, 07 Desember 2008

Kepemimpinan Sejati


Oleh : Jalu Setio Bintoro, S.Sos

Saat kita membaca surat kabar, menyaksikan siaran televisi dan mendengarkan radio, seringkali yang kita dengar adalah berita dan kisah tentang perilaku negatif pejabat-pejabat negeri ini. Kasus demi kasus menjerat mereka untuk berurusan dengan hukum. Korupsi, penggelapan, suap, pelecehan seksual, penyalahgunaan wewenang, serta seabreg kesalahan lainnya justru yang mereka tunjukkan kepada khalayak. Apakah yang terjadi? apakah mereka sudah bosan untuk berlaku baik dan bijaksana sebagaimana yang diharapkan rakyat dari para pemimpinnya. Budaya paternalisme yang dijunjung tinggi masyarakat, terutama orang jawa membutuhkan seorang pemimpin yang adi luhung wicaksono untuk memimpin dan mengayomi rakyat. Pemimpin sejati sebagaimana dilukiskan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah yang bisa melaksanakan tiga konsep yang selama ini seakan-akan hilang dari khasanah budaya kita, dihantam gelombang modernisme dan globalisasi. Tiga konsep itu adalah, Ing ngarso sung tulodho (di depan memberi contoh), Ing madyo mangun karso (di tengah ikut membangun), dan Tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan).

Dari apa yang kita lihat saat ini, pada kejahatan korupsi saja (white colar crime), sudah begitu merajalela. Apabila dulu kita sering belajar mengenai Trias Politica dari Montesquieu, maka saat ini negara kita sedang menjalankan trias korupsia. Yaa, di semua elemen pemerintahan, seperti berlomba melaksanakan korupsi. Di lembaga eksekutif, legislatif bahkan yudikatif pun tidak luput dari kronisnya penyakit yang satu ini.

Jika boleh jujur, hal ini secara signifikan dapat kita lihat sebagai memudarnya kharisma kepemimpinan seseorang dalam menggerakkan roda organisasi. Bagaimana kharisma tidak memudar apabila pemimpin sendiri tidak memberikan contoh yang baik, tidak kapabel dan terkadang tidak mengerti apa yang harus dilakukan.

Pemimpin adalah sosok yang pinunjul, yang artinya lebih. Ia memiliki kelebihan yang orang lain tidak memilikinya. Kelebihan disini dapat diartikan sebagai kelebihan jasmani ataupun rohani, intelektualitas ataupun leadership. Jadi apabila seseorang diangkat menjadi pemimpin tanpa memiliki kelebihan, maka ia akan cenderung melakukan penyalahgunaan kewenangannya sebagai pemimpin atau ia akan dengan mudah dikuasai orang lain yang memiliki kelebihan darinya.

Di sisi lain, seorang pemimpin juga dituntut bisa memberikan pelayanan kepada masyarakatnya sebagai pengayom yang diharapkan mampu menata kehidupan masyarakat dengan memperhatikan nilai dan norma yang dijunjung tinggi masyarakat. Dengan memiliki kekuasaan untuk mengatur, seorang pemimpin akan disegani oleh para bawahannya. Keseganan ini bukan diartikan sebagai perilaku asal bapak senang (ABS), namun merupakan suatu perilaku tunduk dan patuh atas apa yang telah diputuskan dan melaksanakan dengan penuh kesungguhan serta bertanggungjawab atas apa yang dilaksanakan.

Selain beberapa hal tersebut, seorang pemimpin juga harus memiliki perilaku yang wicaksono atau bijaksana, dimana dalam mengambil suatu keputusan ia harus memilih dengan tepat dan adil di atas kepentingan orang banyak. Perilaku bijaksana bukan berarti memberikan suatu perlakuan khusus kepada segelintir orang yang berpamrih mendapatkan sesuatu atas apa yang telah dilakukannya. Namun lebih bersifat sebagai problem solving atau mencari jalan terbaik dari apa yang menjadi permasalahan publik dengan mengedepankan kepuasan semua pihak.

Itulah kiranya keinginan dan tuntutan kita kepada calon pemimpin yang nantinya akan duduk pada kursi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sebagai masyarakat, kita hanya memiliki kepercayaan dan dukungan kepada mereka yang memang benar-benar memiliki komitmen untuk dipercaya (amanah) dalam melaksanakan tugasnya.

Memang, apabila kita merenung, sangatlah sulit melaksanakan hal-hal tersebut di waktu seperti sekarang, apalagi jika kondisi sistem dalam organisasi ataupun lingkungan tidak mendukung seseorang melaksanakan perubahan tersebut. Sekali lagi, di sinilah arti penting kepemimpinan yang dimiliki seseorang. Ia akan mampu melaksanakannya atau tidak sama sekali dan terjebak dalam kondisi yang sama.

(Oktober 2008)

Tidak ada komentar: