Jumat, 10 Oktober 2008

Melihat Fenomena Otonomi Kita

(Oleh : Jalu Setio Bintoro, S.Sos)
Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat negara Republik Indonesia sangat sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Jakarta (pemerintah pusat). Dengan kata lain, rezim Orde Baru mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran (daerah). Melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah maka pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan pelayanan publik diharapkan akan menjadi lebih sederhana dan cepat karena dapat dilakukan oleh pemerintah daerah terdekat sesuai kewenangan yang ada. Kebijakan ini dibutuhkan untuk menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Bangsa Indonesia melakukan reformasi tata pemerintahan semenjak diberlakukannya undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak saat itu berbagai pemikiran inovatif dan uji coba terus dilakukan sebagai upaya untuk menyempurnakan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi.
Sejak dilaksanakannya undang-undang tersebut, masih ditemukan berbagai permasalahan, antara lain: (a) belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, (b) berbedanya persepsi para pelaku pembangunan terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, (c) masih rendahnya kerjasama antar pemerintah daerah, (d) belum terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif dan efisien, (e) masih terbatas dan rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah, (f) masih terbatasnya kapasitas keuangan daerah, dan (g) pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah) yang masih belum sesuai dengan tujuannya.
Berbagai permasalahan tersebut diperbaiki melalui revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah, yang telah dimulai dengan mengganti kedua undang-undang tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Saat ini, selain adanya wacana otonomi yang seluas-luasnya yang mengakibatkan ancaman disintegrasi sebagai akibat penerapan Undang-undang No. 22 tahun 1999, juga bermunculan aspirasi dari berbagai daerah yang menginginkan dilakukannya pemekaran provinsi atau kabupaten. Dalam upaya pembentukan provinsi dan kabupaten baru ini, tarik-menarik antara kelompok yang setuju dan tidak setuju terhadap pemekaran daerah sebagai akibat dari otonomi daerah meningkatkan suhu politik lokal. Indikasi ini tercermin dari munculnya ancaman dari masing-masing kelompok yang pro dan kontra terhadap terbentuknya daerah baru, mobilisasi massa dengan sentimen kesukuan, bahkan sampai ancaman pembunuhan dan huru-hara.
Salah satu aspek yang sangat penting dari pelaksanaan otonomi daerah saat ini adalah terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat
lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Dengan interaksi yang lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah baru, maka masyarakat sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara lebih baik sebagai warga negara. Sejak otonomi daerah diberlakukan, berangsur-angsur, pemekaran wilayah pun direalisasikan dengan pengesahannya oleh Presiden Republik Indonesia melalui undang-undang. Proses pemekaran terjadi begitu pesat dan cenderung tidak terkendali. Terdapat 7 propinsi, 135 Kabupaten dan 32 kota yang terbentuk sebagai hasil pemekaran sesuai dengan daftar yang dikeluarkan oleh DPD pada September 2007(DRSP, 2007).
Ketertinggalan pembangunan suatu wilayah karena rentang kendali pemerintahan yang sangat luas dan kurangnya perhatian pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik, sering menjadi alasan untuk pengusulan pembentukan daerah otonom baru sebagai solusinya. Namun demikian, dalam pelaksanaannya proses pembentukan daerah otonom baru lebih banyak mempertimbangkan aspek politis, kemauan sebagian kecil elite daerah, dan belum mempertimbangkan aspek-aspek lain selain yang disyaratkan melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, terbentuknya daerah otonom baru setiap tahunnya akan membebani anggaran negara karena meningkatnya belanja daerah untuk keperluan penyusunan kelembagaan dan anggaran rutinnya sehingga pembangunan di daerah otonom lama (induk) dan baru tidak mengalami percepatan pembangunan yang berarti. Pelayanan publik yang semestinya meningkat setelah adanya pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah), tidak dirasakan oleh masyarakatnya, bahkan di beberapa daerah kondisinya tetap seperti semula.
Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan.

Pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan. Pemekaran wilayah juga diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah. Tujuan pemekaran sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundangan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:

1. peningkatan pelayanan kepada masyarakat;

2. percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;

3. percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;

4. percepatan pengelolaan potensi daerah;

5. peningkatan keamanan dan ketertiban;
Untuk kepentingan itu, Pemerintah pusat tetap harus mengatur dan menjalankan urusan di beberapa sektor di tingkat kabupaten dan menjamin bahwa pemerintah lokal punya kapasitas dan mekanisme bagi pengaturan otonomi atas bidang-bidang tertentu dan penyelesaian perselisihan. Selain itu, pemerintah pusat juga harus menguji kembali dan memperketat kriteria pemekaran wilayah dengan lebih mengutamakan kelangsungan hidup ekonomi kedua kawasan yang bertikai, demikian pula tentang pertimbangan keamanan, karena jika pemekaran daerah tanpa tujuan dan pengelolaan yang benar, justru akan menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu Tuntutan pemekaran yang sama sekali tidak memiliki urgensi, tidak memenuhi persyaratan dan tidak memberikan manfaat nyata bagi rakyat di daerah, harus kita tolak secara tegas.
Evaluasi juga akan memberi kesempatan kepada kita untuk melakukan konsolidasi terhadap daerah-daerah otonom baru serta daerah-daerah induk yang dimekarkan, baik dari segi tata pemerintahan, kapasitas birokrasi maupun pengelolaan keuangan daerahnya. Saat ini telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dengan peraturan pemerintah ini, kebijakan pemekaran daerah dapat dilakukan lebih selektif dan hati-hati.

Tidak ada komentar: