Kamis, 19 Juni 2008

Histeria Pemilihan Langsung (Direct Vote)


Oleh : Jalu Setio Bintoro, S.Sos

Dewasa ini kita sering menyaksikan di televisi sebuah fenomena baru yang cukup menyita perhatian kita. Ya…pemilihan langsung kepala daerah (PILKADA), sebagai apresiasi dari pesta demokrasi di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bersama, Pilkada merupakan salah satu imbas dari adanya keinginan politik rakyat untuk memilih sendiri calon pemimpinnya. Alih-alih untuk meningkatkan kualitas hidup mereka, para pemimpin yang ada malah terkesan menjadi raja-raja kecil di daerah dengan diterapkannya Undang-undang otonomi daerah No. 32 tahun 2002.
Pilkada langsung yang diselenggarakan di beberapa daerah seringkali menimbulkan konflik horisontal di masyarakat yang sangat merugikan stabilitas politik dan keamanan. Bentrokan dan kericuhan, huru-hara dan aksi anarkhis massa yang biasanya ditimbulkan oleh ketidakterimaan mereka atas tidak terpilihnya calon yang mereka dukung sering mewarnai proses Pilkada di daerah. Sebut saja Sulawesi Selatan dan Maluku Utara, dua daerah yang hingga kini masih dalam proses penyelesaian masalah. Solusinya, di Sulsel diadakan pemilihan ulang, dan di Malut diadakan penunjukan berdasarkan hasil pemilihan yang telah dilakukan beberapa waktu lalu.
Namun demikian ada pula Pilkada yang diselenggarakan dengan aman dan tertib seperti yang kita lihat pada pemilihan Gubernur di Ibukota negara kita Jakarta. Hal inilah yang seharusnya menjadi contoh bagi pelaksanaan Pilkada di daerah lain. Karena seperti kata pepatah, kegiatan dalam hal politik seperti ini bagaikan pendulum, Apabila elite politik yang berada di atas sedikit “bergerak”, maka masyarakat bawah (grass root) akan bergerak lebih hebat lagi.
Di tingkat kabupaten dan kota, histeria Pilkada langsung juga tak kalah serunya. Sebut saja Pilkada walikota dan wawalikota Surakarta beberapa waktu silam, gebyar pemilihan langsung yang pertama kali bagi warga kota Surakarta ini benar-benar meriah dan melibatkan berbagai elemen masyarakat yang tidak sedikit jumlahnya. Tidak tanggung-tanggung, 5 pasang calon menjagokan dirinya dalam Pilkada tersebut.
Apabila kita melihat berbagai fenomena di atas, maka dapat dikatakan bahwa dalam hal berpolitik telah ada partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerahnya. Namun demikian, partisipasi ini masih sebatas “histeria” belaka. Jika boleh diibaratkan, posisi masyarakat dalam kegiatan ini adalah penonton yang sedang menyaksikan pertandingan sepak bola. Terjadinya gol yang dilakukan oleh pemain bukanlah karena tepuk tangan penonton. Adanya penghargaan pun diberikan kepada pemain. Apabila terjadi kekalahan, penonton pun tidak rugi. Namun demikian, penonton akan rela antri berjam-jam, terinjak-injak, bahkan baku pukul apabila timnya kalah atau diejek pihak lain.
Dalam sepak bola, ini lazim terjadi dan menjadi hal yang lumrah. Namun, apabila ini terjadi dalam pemilihan pemimpin kita, sungguh ironis sekali.
Dewasa ini terjadi improvisasi janji pasangan calon kepala daerah, yaitu dengan memberikan kontrak politik kepada rakyat. Ini adalah suatu kemajuan yang harus kita dukung, karena dengan adanya kontrak politik, maka calon yang terpilih akan benar-benar melaksanakan apa yang dijanjikannya sebagai prioritas yang utama atau mundur apabila tidak dapat melaksanakannya. Mengapa hal ini perlu?? Dengan adanya kontrak politik, para politikus yang mencalonkan diri tidak akan sembarang mengobral janji yang sensasional namun tidak rasional, dan partisipasi rakyat sebagai bagian dari warga negara tidak serta merta diabaikan.Demikian yang dapat kami tulis sebagai perenungan kita bersama agar kita dapat memiliki pimpinan yang jujur, adil, dan merakyat!

Tidak ada komentar: