Selasa, 20 Mei 2008

Refleksi 100 tahun Kebangkitan Nasional

Refleksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional
Mengukir Nasionalisme dalam Tindakan
(Oleh : Jalu Setio Bintoro, S.Sos)

Nasionalisme adalalah sebuah apresiasi dari kecintaan warga negara terhadap bangsa dan negerinya. Sebuah wujud pengorbanan segala hal terhadap tetap tegaknya nilai-nilai kenegaraan. Dan sebuah manifestasi dari keinginan untuk mempertahankan jati diri dan identitas nasional.
Nasionalisme selalu kita identikkan dengan kegiatan perjuangan mengangkat senjata melawan musuh, dan bertempur untuk memenangkan atau mempertahankan idealisme kita sebagai bangsa. Bahkan sampai saat ini, di sekolah-sekolah masih menempatkan nama-nama tokoh yang berkaitan dengan perjuangan bersenjata. Bukanlah suatu keburukan, bahkan hal itu merupakan suatu kebanggaan dan suri tauladan nasional terhadap perilaku rela berkorban dan cinta tanah air yang harus selalu kita jaga. Namun demikian, sebagai insan yang dewasa dan berwawasan, seyogyanya kita juga harus berpikir bagaimana para pelaku sejarah lainnya yang berjuang secara diplomatis, politis dan sosialis yang ikut mewarnai khasanah nasionalisme Indonesia dapat di”main stream”kan. Mengapa??
100 tahun sudah kita mengikrarkan kebangkitan nasional, tepatnya ketika pada 1908 para mahasiswa kedokteran STOVIA mendirikan “Boedi Oetomo”. Inilah tonggak sejarah kebangkitan nasional kita.
seabad sudah kebangkitan nasional kita dikumandangkan, pertanyaan besar yang selalu menggelitik benak kita adalah, sudahkah kita merasakan arti kebangkitan nasional. Para pendahulu kita dahulu telah mengemukakan bahwa perjuangan mereka lebih ringan daripada kita, karena mereka menghadapai musuh yang jelas dan nyata. Namun di era millenium ini, kita menghadapi krisis terhadap nilai-nilai kebangsaan, identitas dan jati diri yang berasal dari anak-anak bangsa sendiri, bukan orang lain.
Dari sinilah dapat kita lihat betapa pentingnya pelajaran tentang bagaimana para tokoh yang tidak berjuang mengangkat senjata meletakkan nasionalisme dalam setiap tindakan mereka dan dalam kerangka gagasan berpikir mereka, serta idealisme mereka terhadap nilai-nilai yang juga mereka perjuangkan.
Saat ini, ketika para orang-orang tua berbicara mengenai harga beras, minyak dan kebutuhan pokok lainnya, hati kita akan terpekur. Bagaimana justru di era 100 tahun Indonesia bangkit, kita malah terpuruk dalam berbagai sendi kehidupan. IPOLEKSOSBUDHANKAM, sebuah konsep tentang negeri kita, saat ini tidak satupun yang mengalami kebangkitan. Perubahan sering terjadi, namun hanya beberapa yang memiliki nilai siginifikan terhadap kebangkitan nasional. Di bidang ideologi, dapat kita lihat bagaimana gempuran globalisasi benar-benar telah melunturkan nilai-nilai dan semangat nasionalisme yang sebenarnya baik. Saat ini orang akan mencap jelek terhadap P4 adalah antek-antek orde baru, yang penting saat ini kita menjadi orang yang baik. Bagaimana kita menjadi orang yang baik jika kita tidak mengerti harus seperti apa mencitrakan diri sebagai bangsa Indonesia.
Pada bidang politik, kebebasan berpolitik dan mundurnya peran TNI dalam dunia politik adalah dua hal yang sangat membanggakan kita. Namun perilaku para politisi yang hanya memikirkan kepentingan pribadi sangat-sangat memprihatinkan. Masih segar dalam ingatan kita beberapa aktor politik yang masuk bui karena “kesandung” masalah korupsi. Dimana semangat nasionalisme mereka saat ini? Jangankan nasionalisme, memikirkan kepentingan golongan saja sudah sangat baik bagi mereka. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa berkecimpung di dunia politik menjadi anggota dewan adalah suatu investasi pribadi dalam bidang ekonomi lima tahunan. Namun demikian, kekuatan politik saat ini bukanlah merupakan suatu pressure group yang memiliki daya dobrak yang kuat. Berbagai kelompok terpecah dan saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan, persaingan saat ini tidak dapat lagi dikatakan persaingan yang sehat. Mungkin kita masih ingat bagaimana para politisi saling menjatuhkan pada masa kepemimpinan Bung Karno, sehingga DPR dibubarkan oleh beliau saat itu juga. Apabila kita mencermati, hal tersebut agaknya memiliki kesamaan dengan saat sekarang, dimana para aktor politik saling “adu kuat” bahkan terkadang sampai “adu jotos”.
Di sisi lain, bidang ekonomi kita benar-benar terpukul dengan berbagai krisis di bidang moneter, baik makro maupun mikro. Harga-harga tidak bisa tidak harus menyesuaikan kenaikan komoditi migas yang terus meroket di level dunia. Rakyat harus menelan pil pahit dengan semakin tingginya biaya hidup. Program-program dan kebijakan Kesra yang dijalankan pemerintah bukannya membantu, namun malah membius rakyat untuk terus menggantungkan diri. Pemerintah bukannya mendorong industri kerakyatan sebagai komoditi ekspor, namun malah berlomba-lomba menjual BUMN. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang digulirkan masih terus berkutat pada kaum konglomerat. Bahkan beberapa waktu lalu kita lihat bagaimana Bank Indonesia sebagai lembaga central di bidang finansial menjadi bulan-bulanan para konglomerat dan pejabat korup.
Di bidang sosial, 100 tahun masyarakat Indonesia bukanlah jaminan untuk rakyat dapat menghirup udara sejahtera di negeri sendiri. Kita kadang bertanya?? Apa gunanya ikrar jika rakyat masih sengsara. Rakyat miskin memang mulai diperhatikan, namun pengentasan yang belum seberapa diperparah dengan tambahan rakyat miskin yang ironisnya berasal dari mereka yang dulunya tidak miskin. Akses kaum kecil terhadap jaminan kesehatan, pendidikan, air bersih dan tempat tinggal sangatlah minim. Di sisi lain dapat kita saksikan bagaimana mal-mal, kondominium, apartemen mewah dan berbagai industri dibangun di atas tanah Indonesia. Namun apa daya, segala pembangunan tersebut tidak berimbas pada mereka kaum kecil. Mereka yang kaya akan semakin kaya, dan yang lemah akan semakin terpuruk. Begitu pula nasib para TKI yang sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi di tempat mereka bekerja. Tidak sedikit dari mereka hanya pulang nama atau menanggung cacat seumur hidup, tetapi tidak ada reaksi dari pemerintah yang signifikan untuk melindungi mereka.
Kebijakan dan program pemerintah yang bersifat baik seperti program KB, Transmigrasi, Pendidikan saat ini kurang mendapat perhatian yang serius dari pemerintah karena para pejabat takut dikatakan tidak kreatif dan tidak punya nyali. Program-program ini sebenarnya merupakan solusi dari adanya berbagai permasalahan sosial, namun demikian, memang perlu adanya penyesuaian agar kebijakan-kebijakan tersebut berdaya guna dan tepat sasaran. Sebagai contoh, dulu ada kebijakan pendidikan dalam program SD Inpres, saat ini tentunya jumlah anak usia sekolah SD sudah berkurang karena dampak dari program KB, maka kebijakan ini dapat diarahkan pada Perguruan Tinggi Inpres misalnya, tentu dengan fokus program yang relatif sama.
Dalam konteks budaya, tentunya seperti kita ketahui bersama banyak sekali nilai dan kebudayaan kita yang saat ini hilang. Sifat dan sikap “orang indonesia” yang ramah dan gotong royong hilang dihantam gelombang globalisasi. Kekerasan demi kekerasan sering terjadi di berbagai kehidupan masyarakat. Individualisme yang mengakar membuat kita bagai hidup di belantara dengan hukum rimbanya “siapa kuat dia yang menang”. Kebudayaan tradisional seakan menjadi milik orang-orang tua, karena hal itu mencerminkan ketidak”gaul”an perilaku mereka. Keadaan ini lebih diperparah dengan adanya klaim dari negara tetangga terhadap beberapa kebudayaan asli Indonesia. Namun sekali lagi, pemerintah tidak berdaya.
Pada bidang pertahanan dan keamanan lebih memprihatinkan lagi. Kondisi Alat utama sistem persenjataan (Alutsista) TNI berada pada titik yang cukup kritis. Alat dan kendaraan keluaran tahun ’60-an masih tetap dipakai dengan resiko yang cukup berbahaya bagi para prajurit. Kapal perang dan pesawat tempur milik TNI yang saat ini dapat digunakan dalam kondisi baik jumlahnya sangat terbatas. Pembelian peralatan perang sering hanya diproyeksikan pada produk-produk perang luar negeri. Keadaan ini semakin membuat kita miris manakala kita menengok kesejahteraan prajurit TNI dan Polri yang masih berada jauh dibawah apabila dikomparasikan dengan prajurit angkatan bersenjata negara tetangga. Namun demikian, sepertinya, kita patut mengacungi jempol pada TNI. Saat ini mereka sudah menetapkan bahwa pengadaan senjata serbu mereka akan dipenuhi seluruhnya dari industri senajata dalam negeri (PT. PINDAD). Hal ini cukup membanggakan mengingat banyak industri dalam negeri kita yang tidak termanfaatkan oleh bangsanya sendiri. Banyak manfaat yang bisa kita tarik dari contoh tersebut, misalnya, penarikan tenaga kerja, penghematan biaya pembelian, terpenuhinya kebutuhan TNI secara menyeluruh karena harga 1 unit senjata buatan PINDAD terbilang cukup murah dibanding harus membeli dari negara lain. Yang kemudian menjadi pertanyaan, akankah industri lain dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan produksi dalam negeri, seperti PT. PAL dan PT. DI (IPTN).
Di negara lain tidak ada ikrar tentang kebangkitan nasional, namun semangat penyelenggara negara, aparatur pemerintah, politisi, dan masyarakat sangat erat dan saling mendukung demi kejayaan negerinya, tidak saling menjatuhkan, saling berperang, atau saling curiga satu sama lain. Indonesia memang heterogen, namun sampai dimanakah kita memaknai “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan yang mempersatukan kita. Apakah negeri ini harus diserang musuh dulu baru bereaksi?? Jika kita mempersepsikan musuh saat ini dengan mengangkat senjata dan berperang, kita salah besar!! Musuh saat ini bergerak dalam penjajahan di bidang ideologi, ekonomi dan kebudayaan dan bersifat maya, namun nyata.
Tulisan ini ingin mengajak kita semua, dari berbagai lapisan masyarakat untuk merenung sejenak dan berpikir serta berbuat yang terbaik untuk bangsa Indonesia kita tercinta. Penulis percaya bahwa seburuk-buruk manusia pasti memiliki nurani yang akan berbisik kepada kita untuk mencintai negara ini dan berjiwa nasionalis dalam berbagai krisis yang saat ini melanda kita bersama. Apa yang dapat kita lakukan untuk menjadi nasionalis?? Itulah pertanyaan besar yang selalu hinggap di benak kita semua. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita berpikir, dan berbuat yang terbaik pada apapun yang kita lakukan saat ini dengan menempatkan segala sesuatu pada tempat dan porsinya tanpa berlebihan dan tidak pula kekurangan. Itulah makna Kebangkitan Nasional yang terpendam dalam arus globalisasi di abad ini.!Semoga tulisan ini bermanfaat bagi Netter semua, Merdeka!

Tidak ada komentar: