Jumat, 11 Juli 2008

Membenahi Birokrasi Kita


Oleh : Jalu Setio Bintoro,S.Sos

Empat tahun setelah reformasi bergulir, tepatnya februari 2002, Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjadi presiden, menyebut birokrasi pemerintahan seperti keranjang sampah. Birokrat hanya melakukan apa yang menyenangkan bagi atasan sekaligus menyenangkan dirinya sendiri. Dalam hal ini, saya kemudian teringat akan Serat Kalatidha karya pujangga Keraton Surakarta Ronggowarsito. Pada bait ke-1 dan ke-2 pupuh Sinom Serat Kalatidha diuraikan (terjemahan bebas ke bahasa Indonesia):

1. Sekarang martabat negara, tampak telah sunyi sepi, (sebab) rusak pelaksanaan peraturannya, karena tanpa teladan, (maka) sang Pujangga (Ronggowarsito) diliputi oleh kesedihan hati, (merasa) tampak kehinannya, (bagaikan) kehilangan tanda-tanda kehidupannya, (karena mengetahui) kesengsaraan dunia yang tergenang oleh berbagai halangan.

2. Rajanya raja utama, patihnya seorang patih yang amat pandai, para menterinya bertekad selamat, para punggawa rendahan dan atasannya baik-baik, namun tidak menjadi, pencegah jaman terkutuk, berbeda-beda loba angkara orang di seluruh negeri.

Walaupun syair di atas ditujukan untuk menggambarkan suasana birokrasi pada masa lampau pada saat karya sastra itu ditulis, tanpa disadari dan mungkin cenderung untuk menyederhanakan permasalahan, apa yang diungkapkan sang pujangga tadi mempunyai relevansi dengan masa sekarang. Ketika birokrasi cenderung menekankan kepada “semangat penyelenggara negara”, yang penting orangnya baik, maka yang terjadi justru birokrasi yang tidak mencerminkan tata kelola yang baik. Padahal, secara teoritik, birokrasi merupakan syarat dalam kehidupan bersama. Birokrasi menjadi alat untuk menjaga konsistensi, keteraturan, keseragaman, kekompakan, betapapun menjengkelkannya, orang sering merasakannya. Birokrasi melayani setiap orang sesuai dengan aturan main. Birokrasi bisa mengakomodasi hak dan kebebasan begitu banyak orang dan kepentingan, tanpa menjadi anarkhis. Birokrasi dibutuhkan di negara otoriter, juga di negara demokrasi.

Banyak Sarjana yang bahkan menempatkan birokrasi menjadi salah satu fondasi untuk memelihara momentum transisi ke demokrasi. Ia menjadi bagian dari governance, sebagai the sum of many ways that individuals and institution, public and private, manage their common affairs. Bahkan, posisi birokrasi terutama di negara sedang berkembang, digambarkan Mochtar Mas’oedsebagai aktor omnipoten, inisiator dan perencana pembangunan, yang mencari dana dan yang menjalankan investasi pembanungan itu, yang menjadi manajer produksi maupun redistribusi outputnya, bahkan ia pula konsumen terbesar hasil kegiatan pembangunan itu.

Reformasi Birokrasi

Berbicara mengenai birokrasi pelayanan publik memang tiada pernah akan sepi dari pergunjingan. Rendahnya kualitas pelayanan publik sudah lama menjadi keluhan masyarakat banyak. Para pengusaha mengeluh mengenai rumit dan mahalnya harga pelayanan masyarakat, sementara masyarakat sering mengalami kesulitan untuk memperoleh akses terhadap pelayanan publik. Penyimpangan perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan pelayanan publik untuk masyarakat disebabkan karena hasil dari kompleksitas permasalahan dalam instansi pemerintahan. Pertama, seperti tidak ada sistem intensif untuk melakukan perbaikan. Kedua, buruknya tingkat diskresi atau pengambilan inisiatif dalam pelayanan publik yang ditandai dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada aturan formal (rule driven) dan petunjuk pimpinan dalam melaksanakan tugas pelayanan. Ketiga, budaya paternalisme yang tinggi, artinya aparat menempatkan pimpinan sebagai prioritas utama bukan kepentingan masyarakat.

Ketika reformasi dikumandangkan sejak 1998 dan seiring dilaksanakannya kebijakan desentralisasi, maka isu mengenai peningkatan kualitas pelayanan publik menjadi satu paket dengan isu tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean and good governance). Semenjak itu juga, berbagai daerah telah memelopori untuk melakukan transformasi birokrasi sehingga mampu melakukan pelayanan publik secara lebih prima. Juga pada era ini banyak terungkap kasus korupsi di daerah, yang pelakunya elit pemerintah baik itu di lembaga birokrasi maupun DPRD.

Sekarang perlu ditanyakan apa yang dimaksud dengan reformasi birokrasi? Feisal Tamin, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara mendefinisikannya sebagai penataan ulang secara bertahap sehingga pendayagunaan aparatur negara semakin meningkat, meliputi kelembagaan yang efisien, tata laksana yang jelas, sumber daya manusia yang profesional, yang mempunyai akuntabilitas tinggi kepada masyarakat serta menghasilkan pelayanan publik yang prima. Singkatnya reformasi birokrasi mengandung maksud adanya proses atau rangkaian kegiatan dan tindakan yang serius, rasional dan realistis sehingga ada konsep dan sistem yang jelas. Paling tidak ada tiga sasaran reformasi birokrasi, yaitu : sistem, kebijakan peraturan perundang-undangan dan akhlak serta moral SDM.

Perspektif Struktur

Penataan ulang birokrasi dalam aspek kelembagaan yang efisien di atas dewasa ini yang menjadi persoalan yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam. Alih-alih berwatak efisien, nampaknya “pemborosan” struktur merupakan satu kata yang cukup tepat untuk mewakili potret birokrasi dewasa ini. Misalnya, pada tingkat pusat terdapat Departemen Agama (Depag), namun di sisi lain masih ada pula lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Perbedaan pendapat dari kedua lembaga ini justru akan membingungkan rakyat banyak, misal dalam contoh kasus adanya fatwa MUI yang menyebutkan bahwa aliran Ahmadiyah adalah sesat, namun Depag menyatakan bahwa Ahmadiyah tidak sesat berdasarkan beberapa kriteria yang ditetapkan Depag. Hal ini kemudian menimbulkan keraguan pada lembaga penegak hukum (Kejaksaan) untuk mengambil tindakan follow up.

Di bidang lain, ketidakefektifan terlihat juga pada pelaksanaan tugas yang saling tumpang tindih, sebut saja BPPT, BATAN dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pada aspek hukum, kita juga melihat bagaimana seringkali hasil audit lembaga BPK dan BPKP tidak sama. Bahkan, hal itu menyulitkan bagi peradilan korupsi, misalnya untuk menetapkan mana yang dipakai sebagai alat bukti.

Tumbuhnya bermacam-macam lembaga independen (penasehat presiden atau penasehat menteri) seperti badan, lembaga, komisi, dan dewan, menurut versi Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, badan-badan ini disebut sebagai lembaga pemerintah nonstructural dan berjumlah minimal 42 buah yang dibentuk dengan aneka dasar hukum mulai UU sebanyak 23% (KPK, PPATK), PP sebanyak 7% (BPPN, LSF) dan Keprres sebanyak 70% (KHN, KON, KKSK).

Apa yang diuraikan di atas sangat terbatas pada birokrasi di lingkungan eksekutif nasional, bagaimana juga dengan birokrasi lokal setelah pemberlakuan PP No. 41 tahun 2007? Apabila kita tinjau, kinerja birokrasi di daerah memang terlihat lebih “tanggap” terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dengan perubahan sistem pelayanan yang diterapkan oleh berbagai pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan PAD daerahnya. Sebut saja Kabupaten Sragen yang menerapkan OSS (One Stop Service) dalam pelayanan masyarakatnya dengan satu kantor terpadu yang berisi berbagai macam dinas yang memiliki wewenang memberikan pelayanan dan izin. Hal tersebut dapat dilakukan karena memang ada komitmen kuat dari Bupati Sragen untuk meningkatkan kinerja birokrasi dalam rangka otonomi daerah.

Konsolidasi

Melihat fenomena di atas, sesungguhnya hal yang perlu dilakukan adalah melakukan konsolidasi dan penataan struktur birokrasi negara dari semula “kaya struktur miskin fungsi” menjadi “kaya fungsi miskin struktur”. Hal ini sudah tentu secara efektif menuntut adanya komitmen yang kuat dari presiden dan wakil presiden. Berbagai langkah penataan dewasa ini belum menunjukkan adanya grand desain yang mapan dalam upaya reformasi birokrasi. Apalagi sudah sering dipahami bahwa birokrasi tetap tidak steril dari politik. Keberhasilan sejumlah daerah melakukan reformasi birokrasi juga tidak terlepas dari komitmen kuat pemimpin daerah masing-masing. Di samping faktor kepemimpinan, diperlukan juga upaya demokratisasi dan pertisipasi dalam segenap upaya reformasi birokrasi dan pembaharuan kelembagaan dengan dukungan penataan sistem aturan dan sistem administrasi penunjang yang diperlukan. Dengan demikian, impian tentang agenda konsolidasi dan penataan kembali sistem birokrasi dan pemerintahan dapat segera dimulai dengan terukur dan terjadwal.

Tidak ada komentar: